Kekhawatiran akan keamanan air minum dalam kemasan (AMDK) semakin menambah keresahan masyarakat. Hal ini wajar, mengingat galon polikarbonat yang banyak dikonsumsi masyarakat sudah berisiko terpapar bahan kimia bisphenol A (BPA).

Temuan lapangan BPOM periode 2021-2022 menunjukkan galon polikarbonat tercemar BPA melebihi ambang batas yang ditetapkan 0,6 ppm per liter, dan air memiliki kadar BPA 0,01 ppm.

Hasil uji migrasi BPA pada galon polikarbonat juga menemukan enam area yang kandungan BPAnya melebihi ambang batas 0,6 ppm. Keenam wilayah tersebut adalah Jakarta, Medan, Manado, Bandung, Banda Aceh, dan Aceh Tenggara.

Hasil tersebut baik dari fasilitas produksi maupun distribusi untuk penggunaan kembali air minum dalam kemasan. Lebih mengejutkan lagi, kandungan BPA dalam galon air minum dalam kemasan melebihi jatah harian bayi di empat negara bagian Indonesia.

Risiko paparan BPA yang timbul di area tersebut memerlukan respon dan tindakan yang cepat dari berbagai pihak. Jika tindakannya lambat, dikhawatirkan risiko ini akan menimbulkan masalah baru berupa bencana kesehatan di mana-mana.

ASPADIN mengakui bahwa tidak ada peraturan untuk usia galon untuk digunakan kembali.

Sejauh ini, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) telah melakukan tindakan korektif dengan mengkaji peraturan pelabelan untuk makanan olahan. Secara teknis, hal ini dilakukan melalui sosialisasi dan edukasi melalui pelabelan kemasan galon reusable dari segi keselamatan dan kesehatan masyarakat.

Pada saat yang sama, langkah BPOM sama dengan kebangkitan industri air minum dalam kemasan yang telah diuntungkan selama beberapa dekade karena kurangnya kontrol atas produknya.

Asosiasi Perusahaan Air Minum Dalam Kemasan Indonesia (ASPADIN, Rachmat Hidayat.

Pada lokakarya Jurnalis Independen dengan topik ‘Bahan Kimia dalam Makanan dan Kemasan: Pengawasan dan Perlindungan Pemerintah’ yang diadakan di Jakarta pada 17-18 September 2022, terungkap bahwa tidak ada standar atau peraturan tentang durasi perawatan dan penggunaan kembali. . galon.

Baca Juga  Cara Memperkuat Koneksi Emosional dengan Pasangan

Rashmat bahkan mengklaim bahwa selama 40 tahun di Indonesia, galon air minum dalam kemasan yang dapat digunakan kembali tidak menimbulkan masalah kesehatan, dan masyarakat tetap menjaga kesehatannya dengan menggunakan galon air minum yang digunakan kembali.

Klaim ini ironis mengingat ASPADIN tidak memiliki mekanisme untuk mengatur masa pakai dan perawatan galon yang telah digunakan selama bertahun-tahun. Dia juga mengatakan bahwa pemerintah tidak memiliki peraturan tentang hal itu.

“Jika pemerintah berinisiatif mengeluarkan regulasi terkait hal ini, saya akan dengan senang hati membantu pemerintah menyusun regulasi tersebut,” ujarnya.

Selama beberapa dekade, industri air minum dalam kemasan merasa nyaman tanpa ada pihak yang mempertanyakan keamanan galon yang dapat digunakan kembali.

Agensi juga tidak mengklaim memiliki kendali atas galon yang terpapar sinar matahari, getaran atau tabrakan dalam perjalanan, atau galon yang dipajang di tempat penjualan sebelum publik mengonsumsinya.

Pengabaian ini menjadi masalah serius dan berlangsung sangat lama. Kini industri seolah bangkit setelah BPOM berencana menerbitkan peraturan pelabelan galon untuk kepentingan masyarakat luas.

Peraturan BPOM tidak mendukung persaingan komersial.

Di tengah perdebatan galon air minum dalam kemasan, ASPADIN menjadi lawan utama regulasi yang dirancang BPOM. Penolakan mereka didasarkan pada argumentasi bahwa peraturan pelabelan BPOM akan merugikan bisnis air minum galon bekas yang sudah puluhan tahun terabaikan.

“Kami minta BPOM tidak mengeluarkan aturan (pelabelan) ini. Rehmat Hedayat tegas “Hidup kami (pekerjaan kami) terancam dengan RUU tersebut.’

Pernyataan tersebut menyebutkan bahwa bagi pelaku usaha yang menggunakan galon air minum dalam kemasan yang dapat digunakan kembali, mempertahankan usahanya tampaknya jauh lebih penting daripada menjaga kesehatan jutaan masyarakat Indonesia yang mengkonsumsi air minum dalam kemasan.

Baca Juga  Jalur Kiprok Grand yang Baik dan Benar

Untuk alasan ini, mereka membuat banyak alasan untuk menghindari masalah risiko BPA, termasuk menuduh mereka memiliki motif komersial di balik masalah BPA galon bekas. Secara tidak langsung, tudingan ini menunjukkan bahwa para pemimpin pasar yang menggunakan kembali galon air minum tidak menyukai persaingan bisnis yang berpotensi merugikan bisnis.

Menanggapi hal itu, Wakil Direktur Pangan dan Pengolahan BPOM, Rita Endang, membantah tudingan peninjauan peraturan label pangan terkait dengan kepentingan komersial dan persaingan.

Keberatan ini juga diperkuat dengan pernyataan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) yang menolak kaitan antara aturan pelabelan galon reusable dengan persaingan komersial.

Surat resmi dari KPPU kepada BPOM menyatakan tidak ada unsur persaingan komersial. Rita Indang mengatakan pengaturan BPA dalam kemasan adalah demi kepentingan kesehatan dan keamanan produk, amanat BPOM.”

Ia juga yakin bahwa tanggung jawab BPOM sebagai lembaga pemerintah adalah melindungi masyarakat dari pihak manapun yang menolak untuk mengatur pelabelan galon bekas.

Misi dan fungsi BPOM adalah merumuskan aturan, standar, prosedur dan standar keamanan dan mutu pangan, label dan iklan. Rita mengatakan galon polikarbonat terdiri dari polimer BPA, memungkinkan BPA untuk bermigrasi ke dalam air.

Tulus Ebadi, Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), juga menegaskan bahwa keamanan pangan adalah hak asasi warga negara dan konsumen.

”Tidak ada jalan tengah karena keamanan pangan itu fundamental,” jelasnya.

Menurut dia, negara telah mengeluarkan beberapa produk yang diatur terkait keamanan pangan, antara lain UU Perlindungan Konsumen, UU Pangan, UU Kesehatan, dan Peraturan Pemerintah tentang Label dan Iklan Pangan (PP).

Ia berpendapat, untuk meningkatkan keamanan konsumsi pangan, masyarakat membutuhkan kemasan pangan berbahan plastik ramah lingkungan yang memenuhi standar kesehatan.

Baca Juga  Cara Mengetahui Sepatu NB Original

Selain itu, katanya, terlepas dari tingkat BPA dalam kemasan makanan, dapat menimbulkan risiko bagi kesehatan manusia yang mengkonsumsinya.

“Semakin tinggi standarnya, semakin baik untuk perlindungan konsumen. BPA dalam kemasan makanan dianggap kontaminan bagi kesehatan manusia tanpa memandang levelnya. Semakin rendah level BPA, semakin baik bagi konsumen. Diperlukan kriteria.” dari makanan mereka konsumsi.